Karawang//gemilangbuana.com – lumbung padi Jawa Barat, Kamis siang itu tak hanya menyimpan cerita tentang indahnya hamparan sawah. Di sebuah hotel di Ciampel, para nahkoda desa berkumpul.
Mereka bukan sekadar kepala, tapi tiang penyangga yang paling dekat dengan denyut nadi rakyat. Di sana, Dewan Pimpinan Cabang Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (DPC APDESI) Kabupaten Karawang menggelar Musyawarah Cabang (Muscab) ke-IV.
Sebuah ritual demokrasi organisasi yang sederhana, namun sarat makna: memilih juru mudi baru untuk mengarahkan kapal 297 desa di kabupaten industri ini.
Di tengah riuh rendahnya dinamika desa, forum itu menghasilkan satu nama: H. Margono, A.Md. Terpilih secara aklamasi.
Aklamasi. Sebuah kata yang bisa dimaknai sebagai soliditas tanpa cela, atau sebaliknya, pertanyaan besar tentang minimnya kontestasi.
Namun, bagi Margono dan APDESI Karawang, mandat aklamasi ini sejatinya adalah penegasan. Bukan sekadar kemenangan personal, melainkan janji kolektif para pemimpin desa untuk satu barisan. Sebuah ‘Mandat Aklamasi’ yang kini harus ditunaikan dalam bentuk kerja nyata, bukan hanya sekadar tepuk tangan di ruang Muscab.
Yang hadir siang itu bukan hanya jajaran pengurus APDESI — ada Sekretaris H. Cecep, M.H., S.Pd., Bendahara Hj. Emi Fitria, dan tentunya Ketua DPD APDESI Jawa Barat, Sukarya WK. Yang paling penting, hadir pula representasi birokrasi, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Karawang, Saepulloh, serta 70 peserta dari Ikatan Kepala Desa (IKD) di setiap kecamatan.
Inilah simpulnya: Pertemuan antara harapan masyarakat yang diwakili kepala desa, dengan kebijakan pemerintah daerah yang dibawa oleh DPMD. Dan di tengah simpul itu, terhampar persoalan klasik sekaligus krusial: Dana Desa (DD).
DD yang kini mengalir deras ke tingkat akar rumput, bukan lagi sekadar kucuran, tapi tsunami anggaran yang menuntut transparansi dan akuntabilitas setinggi langit. Anggaran besar di tangan yang paling dekat dengan rakyat ibarat pedang bermata dua. Ia bisa menjadi akselerator pembangunan, membuka jalan, membangun ekonomi lokal. Atau, ia bisa menjadi jerat hukum yang membelit.
Di sinilah peran sentral APDESI yang baru di bawah kepemimpinan Margono diuji.
Mandat aklamasi ini menuntut lebih dari sekadar persatuan organisasi. Ia menuntut percepatan peningkatan kapasitas para kepala desa. Bagaimana APDESI memastikan 297 desa di Karawang tidak hanya menerima dana, tetapi juga mengelola dan mempertanggungjawabkannya dengan profesional? Bagaimana Margono mampu menggalang kekuatan untuk menjadikan Karawang sebagai percontohan tata kelola desa yang transparan, minim penyimpangan, dan maksimal manfaat?
PR besar APDESI Karawang bukan hanya soal konsolidasi internal.
PR itu adalah: memastikan setiap rupiah Dana Desa mendarat tepat pada kebutuhan rakyat, bukan pada kepentingan pribadi. Memastikan desa menjadi pusat inovasi, bukan sarang korupsi.
Sebab, aklamasi jabatan hanyalah permulaan.
Kesejahteraan masyarakat Karawang, para petani, buruh, dan pedagang di pelosok desa, adalah tujuan akhirnya. Jika APDESI Karawang mampu menjawab tantangan ini, mereka bukan sekadar organisasi. Mereka adalah garda terdepan pembangunan nasional.
Dan rakyat Karawang, tentu akan selalu menanti, bukan sekadar janji-janji Muscab. Tapi, bukti nyata dari setiap keputusan yang telah diambil, di hotel, di bawah mandat aklamasi.
Karawang Menanti, APDESI Ditantang. Sebuah Janji di Ujung Pena Aklamasi.
*Edi/edoy*















Leave a Reply